Kamis, 04 Maret 2010

Tafsir Surat Al Ashr


Tafsir Al Azhar
Surat AL- `ASHR (MASA)
Surat 103: 3 ayat
Diturunkan di MAKKAH
1- Demi masa! 
2- Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian.
 3- Kecuali orang yang beriman dan beramal yang shalih dan berpesan- pesanan dengan Kebenaran dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.

"Demi  masa!" (ayat  1).  Atau demi  waktu `Ashar,  waktu petang hari  seketika bayang-bayang badan 
sudah mulai lebih panjang daripada badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang `Ashar. 
Maka terdapatlah pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.
Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu' `Amma bahwa telah teradat bagi bangsa 
Arab apabila hari telah sore[1], mereka duduk bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan
ceritera-ceritera   lain   yang   berkenaan   dengan   urusan   sehari-hari.  Karena   banyak   percakapan   yang 
melantur[2], keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan permusuhan. 
Lalu ada yang mengutuki waktu  'Ashar (petang hari), mengatakan waktu  'Ashar waktu yang celaka, 
atau naas[3], banyak bahaya terjadi di waktu itu. Maka datanglah ayat ini memberi peringatan "Demi 
'Ashar",  perhatikanlah waktu  'Ashar.  Bukan waktu  `Ashar  yang salah.  Yang salah adalah manusia-
manusia yang mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap yang tidak 
tentu ujung pangkal.  Misalnya bermegah-megah dengan harta,  memuji  diri,  menghina merendahkan 
orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan timbullah silang sengketa. 
Lalu kamu salahkan waktu 'Ashar, padahal kamulah yang salah. Padahal kalau kamu percakapkan apa 
yang berfaedah, dengan tidak menyinggung perasaan teman dudukmu, tentulah waktu `Ashar itu akan 
membawa manfaat pula bagimu. 
Inilah satu tafsir. 
Tafsir yang lain; "Demi Masa!"Masa seluruhnya ini,  waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman, masa demi 
masa, dalam bahasa Arab `Ashr juga sebutannya. Sebagai semasa Indonesia dijajah 
Belanda  dapat  disebut  "`Ashru  Isti'maril  holandiy"   (Masa  penjajahan Belanda),   "`Ashru  Isti`maril  
Yabaniy",  masa  penjajahan  Jepang.   "`Ashrust  Tsaurati   Indonesia Al-Kubra",  masa Revolusi  Besar 
Indonesia, "`Ashrul Istiqlal", masa kemerdekaan dan sebagainya. 
Berputarlah dunia ini dan berbagailah masa yang dilaluinya; suka dan duka, naik dan turun, masa muda 
dan masa tua. Ada masa hidup, kemudian mati dan tinggallah kenang-kenangan ke masa lalu. 
Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di 
dunia ini adalah melalui masa. Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi,  artinya 
mati, habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi, dan masa itu akan 
terus dipakai oleh manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi. 
Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. 
Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh edaran masa. 
"Sesungguhnya  manusia   itu  adalah di  dalam kerugian."   (ayat  2).  Di  dalam masa  yang dilalui   itu 
nyatalah bahwa manusia hanya rugi selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-
sekali.  Hanya rugi   jua yang didapati:  Sehari  mulai   lahir ke dunia,  di  hari  dan sehari   itu usia sudah 
kurang  satu hari.  Setiap hari  dilalui,   sampai  hitungan bulan dan  tahun,  dari   rnuda  ke   tua,  hanya 
kerugian jua yang dihadapi. 
Di  waktu   kecil   senanglah   badan   dalam  pangkuan   ibu,   itu   pun   rugi   karena   belum merasai   arti 
hidup. Setelah mulai  dewasa bolehlah berdiri  sendiri,  beristeri  atau bersuami.  Namun kerugian pun 
telah ada.  Sebab hidup mulai  bergantung kepada  tenaga dan kegiatan sendiri,   tidak  lagi  ditanggung 
orang lain. 
Sampai  kepada kepuasan bersetubuh  suami   isteri  yang berlaku dalam beberapa  menit   ialah untuk 
menghasil  anak yang akan dididik dan diasuh,  menjadi   tanggungjawab  sampai  ke  sekolahnya dan 
pengguruannya untuk bertahun-tahun. 
Di waktu badan masih muda dan gagah perkasa harapan masih banyak.  Tetapi bilamana usia mulai 
lanjut barulah kita insaf bahwa tidaklah semua yang kita angankan di waktu muda telah tercapai. 
Banyak pengalaman di masa muda telah menjadi kekayaan jiwa setelah tua. Kita berkata dalam hati 
supaya   begini   kerjakan,   jangan   ditempuh   jalan   itu,   begini  mengurusnya,   begitu  melakukannya. 
Pengalaman itu mahal sekali. Tetapi kita tidak ada tenaga lagi buat mengerjakannya sendiri. Setinggi-
tingginya hanyalah menceriterakan pengalaman itu kepada yang muda.
Sesudah itu kita bertambah nyanyuk, bertambah sepi; bahkan kadang-kadang bertambah menjadi beban 
berat buat anak-cucu. Sesudah itu kita pun mati! 
Itu kalau umur panjang. Kalau usia pendek kerugian itu akan lebih besar lagi. Belum ada apa-apa kita 
pun sudah pergi. Kerugianlah seluruh masa hidup itu. Kerugian!
"Kecuali  orang yang beriman." (pangkal  ayat  3).  Yang  tidak akan merasakan kerugian dalam masa 
hanyalah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa 
yang  sementara  itu dapat  diisi  dengan baik karena ada kepercayaan;  ada  tempat  berlindung.   Iman 
menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di 
dunia   ini,   yaitu   untuk   berbakti   kepada  Maha   Pencipta   dan   kepada   sesamanya  manusia.   Iman 
menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah hidup yang sekarang  ini  ada  lagi  hidup.   Itulah hidup 
yang sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan selama masa hidup 
di  dunia   ini   akan diberi  nilainya  oleh Allah.   "Dan beramal  yang  shalih,"  bekerja  yang baik dan 
berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di 
kekling kita pun suatu kenyataan pula.  Yang baik  terpuji  di  sini,  yang buruk adalah merugikan diri 
sendiri  dan merugikan orang  lain.  Sinar  Iman yang  telah  tumbuh dalam  jiwa  itu dan  telah menjadi 
keyakinan,  dengan sendinnya menimbulkan perbuatan yang baik.  Dalam kandungan perut ibu tubuh 
kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak 
itu adalah gerak maju! Berhenti  sama dengan mati.  Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita 
akan menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja hanyalah satu dari 
dua, kerja balk atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. 
Kenyataan pertama adalah sepeninggal kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan 
yang kedua ialah bahwa kita kembali ke hadhirat Tuhan. 
Kalau kita beramal  shalih di  masa hidup,  namun setelah kita mati  kenangan kita akan  tetap hidup 
berlama  masa.  Kadang-kadang   kenangan   itu   hidup   lebih   lama   daripada  masa   hidup   jasmani   kita 
sendiri.  Dan  sebagai  Mu'min kita percaya bahwa di   sisi  Allah amalan yang kita  tinggalkan  itulah 
kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhrat llahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup 
kita. 
"Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.''  Karena nyatalah  sudah bahwa hidup yang bahagia  itu 
adalah hidup bermasyarakat. Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali 
kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat 
dijunjung tinggi bersama. ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya yang salah itu sama-
sama dijauhi. 
Dengan demikian beruntunglah masa hidup.  Tidak akan pernah merasa rugi.  Karena setiap peribadi 
merasakan bahwa dirinya  tidaklah  terlepas dari   ikatan bersama.  Bertemulah pepatah yang  terkenal: 
"Duduk   seorang   bersempit-sempit,   duduk   ramai   berlapang-lapang."   Dan   rugilah   orang   yang 
menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang. 
"Dan  berpesan-pesanan dengan Kesabaran.   "   (ujung  ayat   3).  Tidaklah  cukup  kalau hanya  pesan-
memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali 
kaki   ini   terantuk duri,   teracung kerikil.  Percobaan  terlalu banyak.  Kesusahan kadang-kadang  sama 
banyaknya   dengan   kemudahan.   Banyaklah   orang   yang   rugi   karena   dia   tidak   tahan  menempuh 
kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. 
Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga. 
Di  dalam al-Quran banyak diterangkan bahwa kesabaran hanya dapat  dicapai  oleh orang yang kuat 
jiwanya, (Surat Fushshilat; 41; 35). Orang yang lemah akan rugilah. 
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2) Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang 
Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah 
dapat dielakkan. Kalau tidak ada syatat yang empat ini rugilah seluruh masa hidup. 
Ibnul  Qayyim di  dalam kitabnya "Miftahu Daris-Sa'adah" menerangkan;  "Kalau keempat  martabat 
telah  tercapai  oleh manusia,  hasillah  tujuannya menuju kesempumaan hidup.  Pertama:  Mengetahui 
Kebenaran. Kedua: Mengamalkan Kebenaran itu. Ketiga: Mengajarkannya kepada orang yang belum 
pandai   memakaikannya.   Keempat:   Sabar   di   dalam   menyesuaikan   diri   dengan   Kebenaran   dan 
mengamalkan dan mengajarkannya. Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat ini. 
Dalam Surat   ini  Tuhan menerangkan martabat  yang empat   itu.  Dan Tuhan bersumpah,  demi  masa, 
bahwasanya   tiap-tiap   orang   rugilah   hidupnya   kecuali   orang   yang   beriman.   Yaitu   orang   yang 
mengetahui kebenaran lalu mengakuinya. Itulah martabat pertama. 
Beramal yang shalih, yaitu setelah kebenaran itu diketahui lalu diamalkan; itulah martabat yang kedua. 
Berpesan-pesanan dengan Kebenaran itu, tunjuk menunjuki jalan ke sana. Itulah martabat ketiga.
Berpesan-pesanan,  nasihat-menasihati,   supaya   sabar  menegakkan kebenaran dan  teguh hati   jangan 
bergoncang. Itulah martabat keempat. Dengan demikian tercapailah kesempumaan. 
Sebab kesempumaan itu ialah sempurna pada diri sendiri dan menyempumakan pula bagi orang lain. 
Kesempurnaan itu dicapai dengan kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Buat memenuhi kekuatan ilmiah 
ialah  iman.  Buat  peneguh kekuatan amaliah  ialah berbuat  amal  yang shalih.  Dan menyempumakan 
orang lain ialah dengan mengajarkannya kepada mereka dan mengajaknya bersabar dalam berilmu dan 
beramal. 
Lantaran itu meskipun Surat ini pendek sekali namun isinya mengumpulkan kebajikan dengan segala 
cabang rantingnya. Segala pujilah bagi Allah yang telah menjadikan kitabnya mencukupi dari segala 
macam kitab, pengobat dari segala macam penyakit dan penunjuk bagi segala jalan kebenaran." Sekian 
kita salin dari Ibnul Qayyim. 
Ar-Razi  menulis pula dalam  tafsimya:  "Dalam Surat   ini   terkandung peringatan yang keras.  Karena 
sekalian manusia dianggap rugilah adanya,  kecuali  barangsiapa yang berpegang dengan keempatnya 
ini.   Yaitu:   Iman,  Amal   Shalih,   Pesan-memesan   kepada  Kebenaran   dan   Pesan-memesan   kepada 
Kesabaran.   Itu menunjukkan bahwa keselamatan hidup bergantung kepada keempatnya,   jangan ada 
yang tinggal. Dan dapat juga diambil kesimpulan dari Surat ini bahwa mencari selamat bukanlah untuk 
diri  sendiri  saja,  melainkan disuruh  juga menyampaikan,  atau sampai-menyampaikan dengan orang 
lain.  Menyeru   kepada  Agama,  Nasihat   atas  Kebenaran,  Amar  ma'ruf   nahyi  munkar,   dan   supaya 
mencintai atas saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya. Dua kali diulang tentang pesan-memesan, 
wasiat  mewasiati,  karena pada yang pertama menyerunya kepada  jalan Allah dan pada yang kedua 
supaya berteguh hati  menjalankannya.  Atau pada yang pertama menyuruh dengan yang ma'ruf  dan 
pada yang kedua mencegah dari yang munkar. Di dalam Surat Luqman, 21; 17 dengan terang-terang 
ditulis  wasiat  Luqman  kepada   anaknya   agar   dia   suka  menyuruh   berbuat   baik,  mencegah   berbuat 
munkar dan bersabar atas apa pun jua yang menimpa diri. 
Menurut keterangan Ibnu Katsir pula di dalam tafsirnya: "Suatu keterangan daripada ath-Tabrani yang 
ia  terima dari   jalan Hamaad bin Salmah,  dari  Tsabit  bin  `Ubaidillah bin Hashn:  "Kalau dua orang 
sahabat-sahabat  Rasulullah  s.a.w.  bertemu,  belumlah mereka  berpisah melainkan  salah  seorang di antara mereka membaca Surat al-`Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka mengucapkan salam tanda 
berpisah." 
Syaikh  Muhammad  Abduh   dalam menafsirkan  Hadis   pertemuan   dan   perpisahan   dua   sahabat   ini 
berkata: "Ada orang yang menyangka bahwa ini hanya semata-mata tabarruk (mengambil berkat) saja. 
Sangka itu salah. Maksud membaca ketika akan berpisah ialah memperingatkan isi ayat-ayat, khusus 
berkenaan   dengan   pesan-memesan  Kebenaran   dan   pesan-memesan   atas  Kesabaran   itu,   sehingga 
meninggalkan kesan yang baik." 
Imam asy-Syafi'i berkata: "Kalau manusia seanteronya sudi merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu 
baginya." 
Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan Surat ini dengan tersendiri,  dan Sayid Rasyid Ridha pernah 
mencetak Tafsiran gurunya ini dengan sebuah buku tersendiri pula, dan menjadi salah satu pelajaran 
kami di Sumatera Thawalib, Padang Panjang pada tahun 1922. 

0 komentar: